Oleh: Ustadz
Sanusin Muhammad Yusuf, MA (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)
Ulama dan Umara, para ahli ilmu agama dan
para pemimpin. Sebagian orang berpikir ulama yang baik adalah ulama yang
menyalahkan para pemimpin di mimbar-mimbar atau yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan seorang pemimpin. Artinya, pemimpin berada pada satu wilayah,
ulama berada pada wilayah yang lain. Terdapat pembatas yang memisahkan keduanya.
Sekilas kita akan merasa bahwa ulama yang
baik adalah ulama yang jauh dari para pemimpin. Ini mungkin benar dari satu
sisi : kalau ulama tersebut takut tergoda fitnah dunia dan kekuasaan yang bisa
masuk ke dalam dirinya kemudian merusak agamanya.
Pada sisi yang lebih besar dari itu, kita
mendapatkan jauhnya jarak antara ulama dan umara adalah tanda-tanda yang tidak
baik bagi kehidupan beragama dan dunia kita. Bahkan pemisahan tersebut bisa
menjadi bagian dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan
agama.
Para ulama sibuk berceramah dan memberikan
pencerahan di masjid-masjid, para pemimpin mengeluarkan aturan dan mengadakan
kegiatan yang melanggar syariat. Seorang pemimpin mengadakan program-program
pemerintahannya, para ulama berdiri di garis terdepan menjadi penentangnya.
Saya dan anda pasti sepakat bahwa ini adalah pemandangan yang tidak sedap
dipandang mata.
Perpaduan
dahsyat antara ulama dan umara
Mari kita lihat sebaliknya : bersamanya ulama
dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara
mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin
mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan
pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa
indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin,
kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.
Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan
pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam. Begitulah
Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur
rasyidin-pun masih
mengikuti rel yang sama. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah
ulama sekaligus umara pada waktu yang sama.
Dari sini kita dapat memahami, bahwa
kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi
pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.
Taatilah
ulil amri!
Ketika Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati ulil amri, kedua
kelompok tersebut masuk ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu” (QS. An
Nisaa : 59)
Syaikh As Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri.Ulil
Amri adalah orang
yang memimpin, mereka terdiri dari para pemimpin dan ulama. Sesungguhnya
urusan-urusan umat tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti perintah
dan arahan mereka, dan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala selama mereka tidak memerintahkan untuk
melakukan kemaksiatan” (Tafsir As Sa’di hal. 183)
Ulama dan
umara dalam bingkai realita
Setelah perjalanan sejarah menjauh dari masa
kenabian, kehidupan manusia semakin kompleks dan permasalahan umat semakin
banyak, terjadi pemisahan dalam kepemimpinan umat. Umara (raja, gubernur, dll)
bukan lagi seorang ulama, dan seorang ulama biasanya hanya menjadi seorang
mufti, hakim, dan urusan-urusan yang terfokus pada permasalahan agama dan ilmu
agama.
Tapi kita akan mendapatkan tinta sejarah
mencatat bahwa para pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki nama-nama besar,
mereka tidak terpisahkan dari Ulama, seperti ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, Shalahuddin
Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih.
Masa sekarang, kita dapatkan masih banyak
dari pemimpin negara dan kerajaan Islam, yang memiliki kedekatan dan hubungan
yang sangat baik dengan para ulama. Bahkan, seperti Kerajaan Saudi Arabia,
keputusan-keputusan penting Kerajaan harus disetujui oleh ulama. Lebih dari
itu, pengambilan keputusan itu sendiri melibatkan para ulama, yang mereka
merupakan bagian terpenting dari kepemimpinan Raja Saudi Arabia.
Di sebagian negara yang umat Islamnya
mayoritas, kita mendapatkan hal yang berbeda, ulama dan umara berada sisi yang
saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi
rintangan dan tantangan terbesar bagi Ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan
dakwah. Ini adalah hal yang sangat-sangat tidak kita inginkan.
Sekali lagi, saya ingin menekankan satu
perkara, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu
membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.
Saling
melengkapi dan menasihati
Mungkin muncul pertanyaan: Bagaimana dengan
yang namanya Ulama su’(ulama yang jelek-red)? atau Ulama yang
mengembek di balik para jas para pejabat? Benar salah yang dilakukan si pemilik
jabatan, ia menjadi pendukung. Lebih dari itu, dengan ilmu agama yang ia
miliki, maka ia mencari dalil pembenaran bagi perbuatan seorang pemimpin yang
salah. Saya katakan: “Itu salah besar, dan sangat disesalkan”.
Yang kita inginkan adalah kedekatan ulama di
sisi umara, menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi
penasehat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar
semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan.
Di sini ada dua sisi penting, memberi
dukungan dan menasehati. Yang pertama mudah kita pahami, adapun yang kedua,
maka kita perlu sedikit mendalami : Bagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajari
umatnya dalam menasehati pemimpin mereka?
Ketika Nabi
Musa menasihati fir’aun
Sebelumnya, mari kita perhatikan dengan baik
ayat Al Qur’an berikut ini. AllahTa’ala berfirman memerintahkan dua Nabi-Nya, Musa
dan Harun ‘alaihis salam(yang artinya),
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya ia telah melampaui batas,
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha :
43-44)
Dua orang utusan Allah Ta’ala datang kepada raja yang paling zhalim, bahkan
telah melewati batas dengan mengaku diri sebagai tuhan. Kita mendapatkan
pelajaran yang sangat penting dari ayat ini, seburuk-buruk manusia walaupun ia
serupa fir’aun, maka kita harus tetap mengunakan adab dan cara yang baik dalam
mendakwahi dan menasehatinya.
Beginilah
Nabi mengajarkan cara menasihati pemimpin
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
mengajarkan kepada kita cara dan adab dalam menasehati seorang pemimpin,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang ingin menasehati seorang Sultan (pemimpin) pada sebuah perkara, janganlah
ia menasehatinya secara terang-terangan (di depan umum), akan tetapi hendaklah
ia berdua dengannya. Apabila nasehatnya diterima, itulah yang diharapkan. Jika
tidak diterima, maka ia telah melakukan kewajibannya untuk menasehati” (HR. Ahmad, no. 15.333)
Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Seseorang yang
menasehati Sultan, tidak boleh menasehatinya kecuali dengan cara:
menasehatinya, menakutinya, atau mengingatkannya akan akibat buruk dari
perbuatannya di dunia dan akhirat. Itulah yang seharusnya dan tidak boleh
selainnya” (Al Adab As Syar’iyah, 1/175)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata,
“Menyebutkan keburukan para pemimpin sehingga menjadi santapan umum, atau
mengangkatnya di atas mimbar-mimbar, bukan merupakan cara para ulama salaf.
Karena hal itu bisa menyebabkan kekacaun dan munculnya sifat tidak taat kepada
pemimpin pada perkara yang baik, dan juga membawa pada perdebatan yang tidak
membawa kebaikan, bahkan membawa keburukan.
Adapun cara para salaf adalah dengan
menasehati seorang pemimpin secara langsung, atau mengirim surat kepadanya,
atau menghubungi ulama yang punya hubungan dengan pemimpin tersebut, agar
memberikan nasehat kepadanya”. (Majmu’ Fatawa
Bin Baz, 8/210)
Semoga ulama dan umara kita bersatu selangkah
membangun umat ini, dan seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Aamiin.
Sumber: Klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar