Saya seorang guru honorer di sebuah
sekolah SMP Negeri di daerah kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sudah hampir
delapan tahun saya mengabdikan diri di sekolah tersebut. Dengan penghasilan
yang tidak seberapa, InsyaAllah saya belajar ikhlas dan tawakkal dengan rizqi
yang Allah berikan pada saya. Berapapun itu, saya masih bisa makan, minum,
ngopi bahkan. Allah kasih rizqi lewat siapa saja yang Dia kehendaki untuk saya.
Maka dari itu tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri segala nikmat yang
diberikanNya. Nafas, pendengaran, langkah kaki, berucap, gerak tubuh, bahkan
saya mengajarpun itu atas kehendak-Nya.
Sisi manusiawi kadang merasa
kekurangan, bahkan setiap saatpun merasa kurang. Apalagi sudah beristri dan
punya anak. Kebutuhanpun semakin meningkat. Yang asalnya saya tidak begitu
peduli dengan hal itu, entah pendapatan atau ekonomi, saya tidak peduli. Karena
sayapun orang yang tidak terlalu suka buang-buang duit untuk belanja
macem-macem, atau piknik, atau apalah. Saya lebih suka memalingkan semauanya
pada musik. Saya suka musik, sayapun mengajar seni budaya. Yang sebenarnya
bukan background saya di dunia pendidikan. Tidak linear ya, itu bahasanya
begitu atau apalah itu?
Saya lulusan S1 pendidikan
bahasa Indonesia salah satu perguruan tinggi swasta di bilangan Cimahi. Kelas
karyawan pula. Jadi, apa yang saya ajarkan selama ini bukan ilmu yang saya
dapat dari perkuliahan. Benar-benar kesukaan dan hobi saya terhadap seni.
Itupun Cuma hobi, bukan professional dibidangnya. Tapi saya jalani dengan apa
adanya dan tidak memaksakan apa yang tidak mampu diberikan terhadap anak didik
saya. Selain dari keahlian yang kurang menunjang, juga sarana dan prasarana
sekolah di daerah itu tidak mumpuni, atau bahkan tidak ada sama sekali. Bukan
hal yang tabu, mendidik dan mengajar adalaha kesamaan diatas perbedaan. Begitu
mungkin ya? Mengajar berarti member pelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang
berlaku di sekolah. Sedangkan mendidik? Menurut saya mendidik adalah member hal
yang baik terhadap siapaun, baik itu dengan ucapan atau tingkah laku. Mengajar
mudah, mendidik itu yang sulit.
Pada kenyataannya apakah
setiap mata pelajaran yang diajarkan itu berguna untuk kehidupan? Untuk realita
kehidupan? Anda punya jawaban sendiri. Sayapun punya jawaban sendiri. Jawaban
saya adalah, mata pelajaran yang saya ajari dulu ketika sekolah, dan yang
berguna sekali dalam kehidupan sekarang ini adalah membaca, menulis, dan
menghitung. Pelajaran seni budaya berpengaruh bagi saya saat ini. Dimana
teori-teori tentang kesenian sangat saya butuhkan. Kalo jadi guru SD mungkin
semua berguna, jadi guru SMP dan SMA, pelajaran IPA, IPS, Bahasa, itu kembali
pada apa yang diajarkan kepada siswanya. Bagi yang berprofesi dokter, petugas
kesehatan, petani, pedagang, dan yang lainya, Cuma itu tadi, membaca, menulis, berhitung
dan ilmu-ilmu keprofesionalannya. Pelajaran yang sejatinya berguna dalam
realita, dalam dunia kerja adalah pengalaman. Pantas saja ada ppribahasa “pengalaman
adalah guru yang paling utama.” Kala begitu buat apa sekolah? Sekolah hanyalah
program pemerintah, dimana disana diatur wajib belajar 12 tahun. Wajib bagi
seluruh rakyat Indonesia belajar, karena setiap rakyat punya pula hak untuk
tahu segala jenis ilmu pengetahuan. Maaf kalo pandangan saya ini keliru.
Pendidikan, inilah kiranya
yang sangat berpengaruh dalam kehidupan nyata. Apalagi pendidikan agama, yang
sangat penting sekali, yang kadang orang meninggalkan hal ini. Bobroknya ahlak,
dan perlakuan, sikap yang menyimpang, adalah faktor pendidikan agama yang
kurang kuat. Kembali ke fitrah manusia yang punya tugas utama untuk mengabdi
(ibadah) kepada Tuhannya. Keterangan dan dalilnyapun jelas dalam Al-Qur’an.
Semua juga pasti tahu. Tidaklah Alloh ciptakan jin dan manusia untuk beribadah.
Bagaiamana kita luruskan fikiran kita tentang ibadah. Bukan hanya sholat,
karena sholat cuma ada lima waktu. Tidak hanya zakat, karena itu tergantung
kemampuan. Tidak hanya puasa, karena puasa cuma setahun sekali. Sedangkan kita
mulai dari bangun sampai tidur lagi, apakah cuma sholat, baca Qur’an, sedekah,
atau menuntut agama? Tidak! Kita perlu makan dan minum. Itu saja, makan dan
minum. Bagaimana itu semua harus jadi ibadah, sesuai dengan tugas kita. Aspek
kehidupan yang lainpun harus jadi ibadah. Habluminalloh, ada habluminannas. Jangan
terjebak, ibadah itu hanya habluminalloh saja. Kita makhluq sosial yang setiap
saat berinteraksi dengan makhluq lainnya, baik sesama manusia atau makhluq lain
semisal, tanaman, binatang, angin, udara, dan lainnya. Semuanya adalah sarana
buat mengabdi. Berfikirpun akan jadi kebaikkan. Memikirkan seluruh alam yang
senantiasa bertasbih memuji dan mensucikan nama Allah Tuhannya. Jika kita
melihat dengan begitu saja, tidak berfikir dan merenungkannya, maka sia-sia.
Allah lebihkan kita dari makhluq lainnya dengan diberi akal dan fikiran. Haruslah
berguna.
Seorang ayah yang setiap hari
bekerja mencari nafkah, itu juga ibadah. Bisa juga sia-sia jika tidak diniatkan
sebagai ibadah. Karena amal bergantung pada niat. Jika tidak berniat hanya akan
membuahkan hasil dunia saja, yang tak seberapa. Buktinya, sebesar apapun
pendapatan manusia, ia tetap saja kekurangan. Ada yang salahkah disini? Seorang
istri yang mengurus rumah tangga, juga sebagai ibu, pendidik bagi anak-anaknya.
Itu juga harus jadi ibadah. Turut pada suami yang pada hakikatnya turut tunduk
pada Allah dan Rasul-Nya.
Tulisan apa ini? Hanya curahan
hati saya saja. Jika benar dan manfaat, semata karena Allah jua Yang Maha
Berkehendak atas apapun. Jika salah dan tak guna, abaikan apa yang lahir dari
nurani saya sebagai manusia biasa. Hanya Allah penggerak tangan dan jari untuk
membuat tulisan ini. Hati, fikiran pun Dia yang Menguasai.
Wallahu a’lam.
Wassalaamu’alaikum warrohmatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar